Ihktilaf wijhatun nazhar dalam perspektif fiqih
Oleh : TGH. Dr. Muhammad Said Ghozali, MA
Dilihat dari berbagai aspek , perbedaan
cara pandang (ikhtilaf
wijahtun nazhar ) merupakan kondisi alami ( fithrah ) dalam
kehidupan manusia , hal ini berkaitan
erat dgn kondisi perbedaan personal dalam batasan yg lebih jauh , sangat
mustahil terbentuk sebuah sistem kehidupan dan membangun interaksi sosial di
antara manusia yg sama rata dalam berbagai hal . sebab kalau akan seperti itu
,maka tidak nampak proses “ al akhzu wal atha’ “ di antara mereka .
kenyataannya, interaksi kehidupan menghendaki adanya perbedaan kemampuan
dan keahlian . hikmatullah menghendaki adanya perbedaan yg akan membangun
kehidupan manusia , baik berbeda dalam bentuk ciptaan atau kemampuan berkarya
atau perbedaan dalam menentukan visi dan
misi .
melihat kondisi spt diatas manusia pasti akan
selalu berbeda dan mesti dalam derajat yg bebeda beda . firman Allah (Qs.Hud 118 ) yg artinya :
jika tuhanmu menhendaki pasti dia akan menjadikan manusia umat yg satu
tapi tetap saja berbeda beda “
perbedaan cara pandang ini, yg kalau diliat secara jernih bisa
memupuk kesuburan akal seorang muslim dan mepertajam daya analisisnya . dan
juga studi empiris telah membuktikan ,
bahwa perbedaan cara pandang ulama sejak zaman dahulu telah melahirkan berbagai
produk pemikiran , perbedaan yg ada tentu nya bukan dalam hal- hal negatif yg
perlu untuk dikecam eksistensinya , justru kalau kita mau berpikir dua kali
asumsi itu akan menemukan titik temu yg ahkirnya bisa menarik kesimpulan bahwa
perbedaan tersebut justru akan memberikan kontribusi yg harus di perhitungkan
dalam khasanah ilmu pengetahuan kita. Berawal dari pemikiran yg beragam itu
muncul para pemikir yg masing-masing dari mereka menawarkan konsep-konsep
menurut versi dan indikasi mereka masing-masing dgn melalui wadah yg kita kenal
dgn mazhab . nah, dalam fiqh kita kenal istilah ini dgn mazhab fiqhi .
oleh
karenanya perbedaan cara pandang para ulama dalam mengkaji hukum (mengistimbhat)
dan menafsirkan nash-nash syara’ bukanlah suatu yg tercela atau membawa kepada
perpecahan ( syiqaq) antara umat islam , tapi perbedaan yg terjadi merupakan
rahmat dan kelapangan dalam mengistimbat hukum sehingga hukum islam akan selalu
relevan dgn kondisi zaman . itupun hanya terbatas dalam hal-hal cabang (
furu’iyah ) yg bersipat parsial bukan mencakup masalah yg prinsipil yg
bersandar pd dalil qath’i ( dalil yg tidak diragukan keabsahannya ) .
untuk menngoreantasikan masalah ini , penulis berusaha untuk mengupas
secuil dari sekian permasalahan yg cukup beragam dalam masalah Ikhtilaf
dalam piqh islam . semoga bisa menjadi saham untuk mengetahui lebih lanjut
dunia perfiqihan kita .
maksud dari ihktilaf wijhatun nazhar
ihktilaf wijhatun nazhar bisa
di artikan sebagai perbedaan cara
pandang dalam memahami redaksi – redaksi
nash, baik itu nash-nash yang
berbetuk ayat Al qur’an atau Al hadits ,
kalau kita liat , kata ikhtilaf
sendiri dalam kamus Bhs arab di ambil dari kata-kata “ ihktalafa,
yakhtalifu,ihktila’fan, yg berarti : berbeda atau berlawanan . lafaz Ihktilaf
dalam istilah lain disebut mukholafah ( perbedaan ) : bisa dimaksudkan
sebagai perbedaan cara pandang antara satu orang dgn lainnya, baik dalam
perkataan atau perbuatan . lafazh Ihktilaf atau khilaf ( berbeda ) lebih umum
maknanya dibanding dgn kata “ adh,dhid ( berlawanan) sebab ,dua hal yg
berlawanan pasti berbeda ,tapi tiap - tiap yg berbeda belum tentu berlawanan .
sesuai
dgn pengertian diatas , secara umum dapat disimpulkan bahwa : ihktilaf atau
khilaf mengandung satu makna umum yaitu
: berbeda , baik dalam pemikiran , pendapat , perkataan ,keadaan ,situasi dan
peranan
dalam hal ini, para Pakar Fiqih islam memberikan suatu pengertian bahwa
: Ikhtilaf wijhatun nazhar adalah : suatu perbedaan ijtihad para ulama atau pendapat
mereka dalam satu kasus, dikarenakan nash-nash yang masih bersipat relatif .
spt . perbedaan mrk dalam menetukan hukum dalam satu perkara , yg satu mengatakan
wajib , yg lainnya mengatakan sunnat dst. Tentunya ini semua berdasarkan dgn
indikasi masing-masing.
Beberapa factor timbulnya perbedaan paham
Memang , tidak ada yang dapat memastikan maksud
atau arti sebenarnya suatu kata atau kalimat yang di ucapkan atau yang ditulis
oleh seseorang,kecuali pembicara itu sendiri,pengertian yang di pahami oleh
pendengar atau pembaca bersifat relatif. Ini disebabkan karena pemahaman
masing-masing berkaitan dengan banyak factor yang mungkin berbeda antara
seseorang dengan lainnya.
Dr.
yusuf qhardawi dalam Assohwah al islamiah mengemukakan bahwa factor-faktor perselisihan
paham sering terjadi disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : 1) al-
khluqiyah atau perbedaan yg
disebabkan oleh karekter seseorang spt factor keangkuhan jiwa , merasa bangga
dgn pendapat sendiri , selalu bersikap su’uzzhan sama org lain , taasyub
terhadap individu , mazhab atau kelompok . ihktilaf ini bisa dikatagori sebagai
ihktilaf mazmum ( tercela) . 2) al-fikriyah atau ihktilaf yg
disebabkan karena factor perbedaan wijhatun nazhar ( cara pandang )
dalam satu kasus, baik yg berkaitan dgn masalah furu’iyah , atau
masalah-masalah yg ada hubungannya dgn posisi politik, evaluasi terhadap
kejadian sejarah atau mengenai figur sejarah . ihktilaf ini termasuk dalam
bentuk ihktilaf yg dihasilkan oleh hasil ijtihad .
Adapun Dr.thoha jabir alawani
menyimpulkan, motip dari perselisihan dapat ditijau dari beberapa sudut
: (1) ihktilaf yg didikte oleh hawa nafsu ( emosi) , ihktilaf jenis ini
dilatarbelakangi oleh tendendensi emosi untuk mendapatkan keuntungan peribadi ,
terkadang motip ihktilaf ini adalah untuk menunjukkan keunggulan dalam wawasan
ilmu dan kemampuan fikih , corak ihktilaf ini sangat jelek dan dilarang sebab,
tendensi emosi lebih mendominasi dari pada tendensi akademis , ihktilaf spt.
Ini bisa menghilangkan obyektivitas dalam mencapai kebenaran . (2) ihktilaf yg
didikte oleh hak ( kebenaran ) ihktilaf ini tidak memberikan porsi sedikitpun
bagi hawa nafsu untuk ikut campur , juga bagi setan untuk mengabaikannya, motif
ihktilaf ini adalah kebenaran dan ilmu , karena dikendalikan oleh akal sehat
dan diarahkan oleh iman spt. Muhkalafah seorang mukmin dgn org kafir atau orang
musyrik, ini adalah kewajiban yg tak bisa dihindari , sebab dilatar belakangi
oleh dorongan iman dan kebenaran , namun ihktilaf dgn mereka tdk harus menghalangi untuk melenyapkan penyebabnya dgn
cara mengajak mereka masuk kpd agama Allah dan menghilangkan segala kekufuran
yg mendorong tumbuhnya akidah sesat mereka . (3) ihktilaf yg berada di antara
posisi terpuji dan tercela . ihktilaf jenis ini adalah perbedaan pandangan
dalam masalah furu’iyah ( ajaran agama yg bukan pokok) yg hukum pastinya
memiliki berbagai alternativ . dalam ihktilaf ini ada kemungkinan terjadinya
dominasi hawa nafsu atas taqwa dan spekulasi ilmiah dgn ilmu dll.
Oleh karenannya untuk menghindari hal tersebut
hendaknya fara mukhtalifin mengikuti dan mencermati kaedah ,aturan dan
etika ihktilaf, sebab kalau hal ini disepelekan
maka akan mendorong munculnya syiqaq ( perpecahan ) tanazzu’ (
pertengkaran ) dan hancurnya persatuan ummat .
kalau kita cermati pembahasan diatas perbedaan cara pandang yang dimaksud tidak keluar dari dua point
yaitu ( Ihktilaf mahmud ) ihktilaf yang berkaitan dgn masalah
ijtihadiah dan (Ihktilaf mazmum)
yaitu perbedaan dalam pokok ajaran yg muncul akibat hawa nafsu atau fanatik
buta
Sebab-sebab ihktilaf dalam fiqih
Kalau kita melihat bahwa ihktilaf dalam masalah
pemikiran - termasuk dalam masalah fiqh- merupakan situasi alami, maka kita bisa
melihat bagaimana perbedaan pendapat yang terjadi pada masa nabi dan sahabat ,
perbedaan cara berpikir dikalangan para sahabat bukan muncul dari kelemahan
akidah atau dari keraguan terhadap apa yang dikatakan Rasulullah S.A.W . tapi
hadaf dari semua itu, adalah semata- mata untuk merealisasi satu tujuan
suci yaitu muthalabah al- haq (mencari kebenaran) .
Karenanya tidak mengherankan jika perbedaan yg muncul dapat segera
diselesaikan, sebab Qodhiyah spt itu
langsung diselasaikan oleh Rasulallah atau dgn cara mengembalikan kpd
nash hukum yg diketahui oleh sebagian sahabat ketika rasul tidak ada . bisa
kita katakan , Ihktilaf dalam fiqih secara umum tidak lebih dari sekedar
perbedaan interpretasi nash karena beberapa sebab diantaranya :
1)
Sebab-sebab yg berkaitan dgn bahasa , hal ini terjadi karena dalam al-qur,an atau hadist terdapat lafal
–lafal yg mengandung beragam makna ( musytarak) atau dalam lafal itu ada
kalimat haqiqi (arti asalnya) dan majazi ( arti pinjaman) dan lainya .
2)
Sebab-sebab yg berkaitan dgn periwayatan hadits, dalam hal ini para mujtahid dalam berfatwa ,apabila suatu hadits
tidak sampai kepadanya maka mrk berfatwa dgn maksud zahir ayat atau hadist
lain,atau dgn mengqiaskan kpd permasalahan terdahulu yg telah diputuskan
Rasulullah,atau dgn istishahab
terhadap kondisi masa lalu ,atau dgn meninjau satu sudut pandang dari
beberapa sudut pandang ijtihad . terkadang ada hadits sampai kepada seorang
mujtahid tapi ia meliat ada illat yg mencegah untuk mengamalkan hadits tersebut
, spt suatu hadits tidak sah disandarkan kepada rasulullah ,sebab karena ada
perawi yang majhul ,tertuduh dusta , jelek hapalan , ada riwayat yg
terputus pertalian sanadnya atau karena ada persyaratan adil atau hafizh dalam
hadist ahad padahal golongan yang lain menafikannya .atau sampainya hadist
kepada seorang mujtahid sekalian dgn asbabul wurudnya sedangkan hadist
tersebut sampai pada mujtahid lain tanpa disertai dgn asbabul wurud, ada
pula yg melihat dari derajat kesahihan suatu hadits dan kekuatannya , mungkin
pula seorang mujtahid di pengaruhi oleh penaskhan suatu hadist atau penghususan
dari keumumannya atau pembatasan dari kemutlakannya sedang mujtahidlain tidak
terpengaruh oleh itu semua , sehingga antara golongan pertama dan kedua terjadi
perbedaan pendapat .
3)
sebab-sebab yg berkaitan dgn qaidah-qaidah usuliyah dan dan
batasan-batasan istimbath ( dhawabith).
dalam menggunakan kaedah dan dhawabith para mujtahid bebeda-beda dalam
menerapkan metodologinya dgn perbedaan metode yg dipakai maka sangat berefek
kepada hukum fiqh yg dihasilkan spt, seorang mujtahid menganggap bahwa maslahah
mursalah merupakan metode dasar dalam menuntukan hukumsyara sedang mujtahid
yang lain menolak kansep tersebut demikian halnya dalam metode-metode yg lain
spt. Saddudz dzara’I ,Istihsan,Istishab,Alkhdzu bil ahwath (lebih
hati-hati dalam megamal kan dalil ) ,Alkhdzu bil akhaf ( mengambil
resiko yg lebih ringan dari beberapa resiko yg lebih berat ) dan (al- urf) adat
, begitu juga pebedaan mereka terpaut dalam hal dilalah teks dalil-dalil
syariat ,dilalah mana yg bisa jadi standar dalam menetukan hukum apakah itu dilalah
ibarat, dilalatul iqtidha’ atau dilalah yg lain. Dari perbedaan cara
pandang mujtahid dalam hal ini timbullah perbedaan tentang kesimpulan hukum
fiqih dalam masalah - masalah furu’iyah .
sebenarnya masih banyak lagi factor lain namun faktor diatas boleh dikatakan sebagai factor dominan munculnya perselisihan ulama fiqih.
legalitas ( syar’iyah) berbeda pemahaman dalam fiqih
jelas bagi kita bahwa perselisihan antara fuqha’
adalah situasi alami dan bukanlah dilatarbelakangi oleh hawa nafsu akan tetapi
perselisihan yg terjadi merupakan tausi’ah ( keluesan) dan rahmat
( keringanan ) , oleh karenanya fara ulama memaparkan bebarapa indikasi akan
kesahihan terjadinya ihktilaf dalam fiqh, untuk mengetahui lebih jauh kebolehan
tersebut ,kita perlu meperhatikan dalil-dalil dibawah ini :
1)
firman Allah SWT. dalam surat
annisa’ (QS: 59) yang artinya : “ jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada allah (Al qur’an) dan Rasul
(sunnahnya),jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian
“ .
konteks ayat ini menjelaskan bahwa ulama dalam berbeda pendapat
hendaknya mengembalikan kasus yg diperselisihkan kepada Al Qur’an dan
hadist kalau memang khilaf tersebut tidak dibolehkan ( gahir masyru’)
niscaya tidak diperintah untuk kembali kepada Al quran hadist, bahkan akan ada
larangan dari sebelumnya .
2)
Riwayat dari Amr bin ash bahwa nabi pernah bersabda : ” apabila
seorang hakim menghukum berdasarkan ijtihad kemudian benar maka ia mendapatkan
dua pahala, jika salah dalam menghukum maka ia mendapatkan satu balasan . Hadits ini menandaskan legetimasi ijtihad
bagi para hakim atau mufti dalam mengistimbath hukum, mereka tidak terlepas
dari kebenaran atau kesalahan karena disebabkan berbeda beda wijhatun nazhar
, oleh karenanya ihktilaf dalam kasus seperti ini tidak termasuk dalam katagori
perselisihan yg memudaratkan .
3)
Perkataan atau perbuatan para Sahabat Rasul yg menunjukkan adanya
khilaf dalam menentukan hukum spt.yang disebutkan Ibnu Qayyim al jauzia
dalam kitabnya I’lamul muaqqi’in ,beliau menceritakan bahwa:
perselisihan yang terjadi antara Umar dan Ibn mas’ud mencapai seratus masalah .
contoh lain dari realita ihktilaf mereka spt, riwayat dari imam bukhari dan
muslim menyatakan bahwa: nabi Muhammad SAW.pada saat perang Ahzab memerintahkan agar para sahabatnya tidak
melakukan shalat asar kecuali di kampung Bani Quraezah , nah sebagian
diantara mereka ada yang masih diperjalanan dan telah tiba saatnya solat asar .
diantara mereka ada yang berpendapat bahwa salat asar harus dilakukan dikampung
Bani Quraezah karena rosul melarangnya kecuali telah sampai ketempat itu
. sedangkan yang lain melaksanakan salat asar diperjalanan , ketika
perselisihan pendapat tersebut sampai kepada Rosul , beliau tidak mencela kedua belah pihak yang
berselisih ,artinya ,beliau membenarkan keduanya . diriwayatkan oleh Najal bin
Sibrah, ia berkata :” saya mendengar Abdullah bin mas’ud berkata “ saya
mendengar sesorang menmbaca Alqur’an yang berbeda dgn bacaan Rasulullah,maka
saya mengajak menemui Rasulallah .kemudian beliau bersabda “ bacaan kamu berdua
sama-sama bagus “ ( tanpa menyalahkan kedua belah pihak ). Dgn pengukuhan spt ini menunjukkan adanya
legalitas ihktilaf dalam Hukum Islam
Pengaruh nya dalam fiqih
Kita melihat, Ihktilaf dalam Hukum Islam
sangat mempengaruhi berbagai majal Isthimbat baik yang berkaitan dgn masalah
ibadah , masalah pembinaan keluarga , masalah pembinaan ekonomi , pembinaan
sosial , peradilan , pemerintahan dan sebagainya, tentunya dgn itu kita dapat
mencari solusi alternatif untuk menetapkan hukum yang ada sesuai dgn koridor
syariat . disini bisa kita melihat
betapa aktifnya para pakar fiqh mengkaji kasus-kasus yang sangat beragam
yang terjadi dalam kehidupan Individu dan sosial masyarakat . didalam masalah
yang berkaitan dgn wudhu’ misalnya, para ulama berbeda pendapat ,apakah wudhu’
seseorang batal apabila tangannya menyentuh kemaluan ? menurut mayoritas ulama
spt.ulama syafii , hambali ,imam malik dalam pendapatnya yang masyhur
mengatakan : orang yang menyentuh kemaluanya batal wudhu’, indikasi mereka
adalah hadits yang diriwayatkan oleh busrah binti safwan bahwa rosulallah SAW
bersabda “ barang siapa yang menyentuh kemaluanya hendaknya ia solat setelah
berwudhu ‘. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat para sahabat spt. Saidina
umar,Abdullah bin umar ,Abu Hurairah , Ibnu Abbas,Siti Aisah dan Saad bin Abi
waqqas .
Adapun versi Abu hanifah ,Abu yusuf dan Muhammad : orang spt ini ( al
lazi massa Zakarahu) tidak batal wudhu’ , mereka menguatkan pendapat
tersebut dgn Indikasi yang sama-sama berlandaskan dgn Hadist Nabawi sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Thalq bin Ali bahwa nabi SAW pernah ditanya tentang
orang yang menyentuh kemaluanya dalam shalat beliau menjawab “ itu hanya bagian
dari anggota badanmu “ pendapat ini
didukung juga oleh ra’yu Saidina Ali,Ammar,dan Ibnu Mas’ud . Ali RA. Pernah
berkata : “ saya tak peduli apakah saya menyentuh hidung atau kemaluanku .
dari sini dapat kita amati indikasi - indikasi yang digunakan oleh kedua
kelompok yang berselisih ,perbedaan
tersebut tiada lain disebabkan oleh kontradeksi nash yang ada.
Demikian juga halnya dgn masalah
bacaan basmalah diawal surat, para Fuqaha’ ada yang membaca diawal surat ada
yang tak membacanya , ada yang biasa qunut di salat subuh ada yang
meniggalkannya , ada yang berwudhu karena ada darah keluar dari hidung ,muntah
dan berbekam ,ada yang tidak melakukannya dst. Seluruh perbedaan diatas tidak
menjadi aral bagi mereka untuk melakukan salat dibelakang seseorang yang
berbeda pendapat dgnnya .
Imam Syafii pernah salat subuh didekat makam Abu Hanifah dan tidak
berkunut padahal kunut baginya merupakan sunnat muakkad ,maka ketika ditanya
alasannya, beliau menjawab “ masa saya menyalahi dia (Abu Hanifah),sementara
saya ada dihadapannya “ selain itu beliau berkata : “ saya terkadang lebih
condong kepada mazhab penduduk Irak “ . suatu ketika Imam Ahmad bin hambal pernah ditanya tentang
solatnya orang yang menjadi makmum di
belakang imam yang sudah berbekam kemudian endak berwudhu’ lagi , beliau
menjawab “ bagaimana aku tak sholat di belakang Malik dan Said bin musayyib”.
Demikian
juga halnya Abu yusuf ketika diberitau
bahwa : beliau menjadi Imam solat setelah bersuci disumur yang ada bangkai
tikus , sepontan beliau menjawab : “ kalau begitu kita berpegang pada
pendapat Fuqaha’ Madinah yang mengatakan
“ Air, jika lebih dari dua qullah tidak
mangandung na’jis ”.
harapan
Dengan sekelumit pemaparan diatas nampak bahwa beda
faham dalam segala majal fiqih sangat membawa dampak positif,tentunya semua
ini bukan dilatar belakangi dengan pebedaan cara pandang yang tidak sehat atau
timbul dari hawa nafsu belaka (emosi) yang dgn itu akan mengakibatkan bencana
besar bagi Umat Islam , oleh karenanya untuk mencapai target ihktilaf positif
agar menjadi rahmat dan anugrah ihktilaf harus dibarangi dgn etika yang luhur,
agar tidak ada kesan bahwa seluruh ajaran dan doktrin Islam mendorong lahirnya
perselisihan dan perpecahan .
marilah kita saling bekerja sama ( bareng bareng ) dalam hal-hal
yang kita sepakati dan kita saling toleran dalam hal-hal yang diperselisihkan (
nataa’wanu fi mattafaqna alaih
wa ya’zuru ba’dhuna ba’dha fi
makhtalafna fih ). Dengan demikian tidak akan ada jalan bagi musuh-musuh
Islam untuk menghantam nilai dasar Syariat Islam yang mulia dan kita bisa
menyebarkan misi utama Islam sebagai agama rahmat di Alam semesta ini sebagai
pembentuk Individu muslim yang berdiri pada sendi Iman yang kokoh,intlek dan
ber ahklaq yang mulia dan penyeru untuk tetap berpegang teguh pada kalimat
tauhid dan kesatuan kalimat. Oleh karenanya jika kita berbicara dgn logika
agama,zaman ,kemaslahatan atau penalaran maka semua ini mengharuskan para
pemimpin Ummat (Tuan guru, ustat ataupun intlektual muslim lainnya.) harus
berusaha untuk menciptakan persatuan dan menjauhkan Ummat dari perpecahan ,
memperkokoh ikatan batin,seirama dalam berjuang dan bersatu padu dalam langkah,
marilah kita camkan dan tatbiq motto papu’ balo’ kita dalam “ 3 P ” nya yaitu
: patut , patuh , pacu . bukan
kita justru harus berpikir ikstrim, radikal ataupun mengacaukan Ummat dgn
pemikiran yang nyeleneh, menyesatkan. tapi hendaklah kita berpikir dgn
berlandasan konsepsi-konsepsi Al-quran
dan hadits (berpikir islami). tidak
hanya sekedar mengandalkan logika semata . berkata imam Zarnuji “ ahlul
dhlolalah a’jabu biroyihim wa aqlihim wa thalabu al haq minal aa’jiz wa huwa Al-aql. liannahu la yudrik jami al
asya’ pahajabu wa ajaazu wa dhollu wa adhallu . wal iya zubillah . almuhim
~ roj’ul amri ila marta batai Al mizan , mizan at takhfif atau mizan
at tasydid ~ .
Semoga dgn pembahasan yang sangat
sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini, bisa menjadi sulamul hija
untuk mencapai target yang lebih besar dalam mengetahui lebih lanjut percaturan
syariah kita .dan perlu diingat kita hendaknya jangan meremehkan loyalitas
-terutama menghargai pendapat orang lain dan juga hendaknya Tiang pelungguh
senamian tanamkan rasa saling menghormati, jangan sok cuek-cuekkan,
karena tidak sesuai dgn etika muslim sejati
– ingatlah, diskusi kecil-kecilan ( kode’kodean mara’niki )
bisa menjadi saham yang sangat berharga yang mampu bersaing . Insya
Allah SWT. Robbana ij’alna manallazina
yastamiu’nalqaula wa yattabiuna ahsanah , waj’alna minal muttaqin .
Robbana igfir wa irham …Aaamin ~