MENUJU KE ARAH REKONSTRUKSI ETIKA PERBEDAAN PENDAPAT
Dr. Abdulla as-Shobih
Ketika manusia
berkumpul dalam suatu tempat, diantara mereka pasti akan tumbuh rasa simpati,
beawal dari rasa inilah manusia cenderung memproteksi komunitas mereka, tidak
melanggar suatu kesepakatan bersama dan tidak merendahkan setiap urusan
kelompok...rasa simpati ini disebabkan oleh sikap interaktif antar individu;
lalu masing-masing menyamakan persepsi dan tumbuhlah sikap saling pengetian dan
kesadaran, kekerabatan (relitionship) ini pun semakin menyebar hingga
mencakup aspek-aspek psikologis dan sosial.
Kekerabatan
psikologis, artinya ‘kekerabatan emosi’...sisi ini akan mengembangkan hubungan
persaudaraan di dalam suatu masyarakat; lalu terjalin suatu persahabatan dan terbentuklah
yang dinamakan ‘keluarga’...adapun jalinan sosial, artinya ‘kekerabatan rasio plus
akal’ di mana semua elemen masyarakat merasakan bahwa hubungan ini memiliki
‘kehormatan’ yang harus dijaga dan dilestarikan dari hal-hal yang merusak,
sebagaimana kekerabatan psikologis akan menumbuhkan ‘common sense’ dalam diri
setiap individu yang dirasakan cocok, begitu halnya dengan jalinan sosial dapat
menumbuhkan akal untul selalu menghayati nilai-nilai yang sesuai dengan
kelompok dan memiliki perhatian lebih terhadap nilai-nilai tersebut...Point
inilah yang ingin saya tekankan di sini, bukan sebuah kegagalan bagi seseorang ataupun upaya menghapus kepentingan
kelompok seperti dalam sistem-sistem yang radiks dan otoriter, namun sebuah penggemblengan
diri bagaimana menciptakan pola hidup damai dalam satu atap...hidup damai
merupakan tingkat jalinan persaudaraan yang paling rendah...dan puncak
tingkatan ini adalah ‘saling tolong menolong’ (baca: gotong royong) dan yang
lebih tinggi dari sikap tolong menolong adalah membantu meraih suatu
keberhasilan.
Mengenal titik
persamaan antar warga dalam satu atap menuntut suatu 3 bentuk diatas; ta’ayusy,
ta’awun dan nusrah sebab menjaga dan melestarikan
nilai-nilai persaman tersebut merupakan
tanggung jawab seluruh masyarakat. Hal ini menuntut perhatian lebih dalam
beriteraksi yang melegetimasi adanya perbedaan pendapat dan pandangan selama
masih dalam koridor (kerangka) persamaan; titik persamaan yang terjalin antar
segmen dan wajib dilestarikan adalah “kesatuan” artinya menjaga
kebersamaan hidup dalam satu atap; “kestabilan” artinya kewajiban
menjaga ketentraman bersama dan “keamanan” artinya menjaga kemanan
setiap individu. Faktor di atas hendaknya dijadikan sebagai pengantar dalam
menghadapi setiap perbedaan antar kelompok, dan antar individu tatkala
perbedaan ini berubah baik secara teoritis ataupun praktis ke arah perpecahan
yang dapat menghancurkan niali-nilai persamaan dan citra kekerabatan sosial.
Syariat yang
berisi ajaran-ajaran untuk menjaga kesatuan dan mencegah timbulnya suatu
perpecahan. Serta menggabarkan hubungan ini sebagai “tali persaudaraan” ;
sebuah hubungan yang lebih kuat dan mulia di sisi Allah. Kata “ukhuwah”
(persaudaraan) sendiri disebut sebanyak 100 kali dalam al-Qur’an. Abu Abdullah
al-Damighani (W 478) dalam kitab
“al-Wujuh wa al-Nadhair” menyebutkan 7 arti ukhuwah, diantaranya; persaudaraan
seayah dan seibu, senasab, sepaham, seagama, se-perasaan cinta dan kasing
sayang...saudara yang berarti teman sejawat dan saudara yang berarti persamaan
dan kecocokan. Diantara 7 arti di atas, hubungan yang paling kuat adalah yang
menunjukkan suatu ikatan dua orang dan dari ikatan ini muncul persaudaraan,
yakni sebuah ikatan yang saling terkait.
Apabila
persaudaraan ini kuat dan mapan, maka tidak seharusnya dilanggar hanya dengan
alasan perbedaan perndapat dan opini , atau hingga muncul konflik dan
permusuhan.
Arti ini, sangat
jelas tergambar dalam al-Qur’an dan sunah Nabi saw, dan kalau pun salah akan
mudah dimaafkan, positive thinking, menjauhi nilai-nilai positif, saling
memperbaiki antar sesama, memprioritaskan persaudaraan se-iman daripada
kepentingan individu atau hak-hak personal.
Berkenaan dengan
sistem ishlah antar sesama, disebut dalam sebuah ayat: “Sesungguhnya
orang-orang beriman adalah saudara, maka hendaklah saling memperbaiki antar
saudara-saudara kalian”. (Qs al-Hujurat: 10). Menyimak ayat ini,
menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan namun tidak menghilangkan sifat
“persaudaraan”. Hal ini memperingatkan pada nilai-nilai persamaan, melebihi
segalanya. Manusia, dalam kondisi konflik cenderung melupakan ikatan
persaudaraan dan berpaling pada hal-hal yang membangkitkan permusuhan.
Sedangkan, berkenaan dengan sikap positive thinking, al-Qur’an menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sifat buruk sangka, sebab sebagian
sifat buruk sangka adalah dosa, dan janganlah masing-masing saling memaa-matai
dan mendengki”. (Qs al-Hujurat: 12), dan masih banyak lagi nash-nash yang
bertalian dengan sifat-sifat ini.